Dimuat di majalah Say, juni 2010

Oh Tuhan, jam dinding telah berdentang dua kali berarti tinggal satu jam lagi, peristiwa yang aku khawatirkan akan terjadi. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi papa dan mama, terlebih sikap papa yang pasti akan menyakiti lebih dari satu orang; kakak perempuanku dan bayi mungilnya.
****

Kemarin siang saat aku pulang sekolah, tiba-tiba seorang perempuan muda yang tengah menggendong seorang bayi mendekatiku. Aku hampir tidak mengenalinya karena ia begitu kurus. Namun setelah jarak kami begitu dekat,barulah aku berteriak histeris dan langsung menghambur ke arahnya.

“Kak Hasna!” isakku sambil memeluknya.Buru-buru ia melepaskan pelukanku dan memberi tanda dengan matanya pada bayi yang tengah tertidur di gendongannya.Aku melongo.Bayi siapa itu?
“Ya, ini anak kakak Kei. Umurnya baru setahun. Namanya Melodi.” katanya menjawab rasa penasaranku. Aku menelan ludah, tak percaya.

Ia mengajakku melepas lelah di sebuah warteg. Kutatap wajah satu-satunya kakak perempuanku yang tersisa itu dengan penuh haru, apalagi saat ia mulai bercerita tentang kehidupannya yang keras.
Setelah diusir oleh papa dengan begitu kejam, kakakku langsung pergi dari Palembang menuju ke rumah sahabatnya, Dinda, di kota Bengkulu dan menginap disana. Suatu saat, ia dikenalkan Dinda pada seorang musisi jalanan bernama Chandra. Kak Hasna merasa begitu klop dengan kak Chandra. Selain sama-sama berkecimpung dalam dunia seni, Kak Chandra juga telah menunjukkan dunia sesungguhnya pada Kak Hasna—dunia jalanan. Hal itu membuat jiwa penulisnya lebih peka. Mereka pun sepakat untuk menikah walaupun dengan kehidupan ekonomi yang serba pas-pasan. Namun kebahagian itu koyak seketika saat Kak Chandra tewas dalam kecelakaan, sebulan setelah kak Hasna melahirkan.

Benar-benar cobaan yang berat. Untung ia masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan bayinya dari honorarium cerpen dan sayembara menulis yang ia dapatkan. Ia juga tambah giat merampungkan novelnya yang kedua. Novel keduanya itu—novel pertama sengaja ia simpan terlebih dahulu—lalu ia kirimkan ke beberapa penerbit. Sayang mereka belum memberikan jawaban. Hingga 2 hari yang lalu, ia mendapat telepon dari sebuah penerbit di Jakarta yang memintanya datang ke sana 2 hari lagi.

Sampai disitu ia bercerita, lalu ia menghirup es tehnya. Melodi mungil tengah menyusu pada botol dotnya. Kuberanikan diri untuk menanyakan tujuannya menemuiku. Aku tahu seharusnya kami saling melepas rindu. Bayangkan selama 2 tahun perpisahan tanpa sedikitpun komunikasi. Tapi ini masalah lain. Kedatangan kakak tiba-tiba apalagi sambil membawa bayinya seolah menyiratkan suatu tujuan yang agaknya mencemaskanku.

“Kakak cuma mau memberitahumu kalau besok sore sekitar pukul 3, kakak akan pulang ke rumah. Kakak mau menitipkan Melodi barang satu atau dua minggu.”
Mendadak mulutku terasa kering. Tak bisa kubayangkan nanti bagaimana reaksi papa dan mama.
“Kei, kakak tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu takut papa akan mengusir kakak seperti dulu kan?”

Aku menunduk.Kurasakan mataku berkaca-kaca.
“Sebenarnya kakak juga merasa tidak enak untuk pulang karena bagaimanapun kakak sadar dulu kakak salah. Kakak juga jahat karena tak berusaha menghubungi kau dan mama. Tapi kakak yakin papa dan mama akan tetap menerima kakak karena bagaimanapun kakak tetaplah anak mereka. Apalagi sekarang ada melodi, cucu pertama mereka. Kakak rasa sekaranglah waktunya untuk menyambungkan kembali tali silahturahmi yang putus.”

Kak Hasna tersenyum. Dan itu mampu mencairkan bongkahan es di hatiku. Rasa kagumku pada kak Hasna dari dulu tak pernah berkurang, malah makin bertambah.
Ah, papa dari dulu tidak pernah setuju kakak jadi penulis.Aku tak tahu alasan pastinya. Tapi kakakku yang mulai dari kelas 2 SMP itu hobi menulis, selalu diam-diam mengirimkan cerpen-cerpennya ke majalah. Dan pada saat kakak lulus SMA dan ketahuan oleh papa bahwa ia ditawari oleh salah satu majalah remaja di Jogjakarta untuk jadi penulis tetap disana, papa marah besar. Semua file cerpen dan novel yang baru ia tulis dibakar. Sejak saat itu, papa memantau setiap aktivitas kakak.

Kakakku pun kemudian mencoba menikmati hari-harinya sebagai mahasiswa jurusan bisnis manajemen, jurusan yang diinginkan papa. Sampai suatu saat, rasa jenuhnya meledak. Di semester 8, saat seharusnya ia siap dengan skripsinya, ia mengaku sudah di-DO dari kampus karena tidak membayar SPP berbulan-bulan dan sering bolos kuliah. Tentu saja papa yang merasa kecolongan marah luar biasa, apalagi saat tahu uang SPP itu digunakan kakak untuk mengetik cerpen-cerpen dan novelnya serta membeli banyak buku referensi untuk ceritanya.

“Hasna, keterlaluan kamu! Susah payah papa mencari uang buat kuliahmu, malah uangnya kamu gunakan untuk hal yang gak penting!Dasar gak tau diuntung! Dikasih jalan enak malah ngelawan!” teriak papaku, hari itu. Suaranya yang lantang sanggup membuat aku dan mama gemetar. Tapi tidak kak Hasna.Ia malah menatap mata papa seolah menantang.
“Papa sudah tahu alasannya.Aku cuma mau jadi penulis.”tegas kak Hasna
“Penulis lagi! Penulis lagi! Papa sudah bilang berkali-kali padamu kamu akan menderita kalau memilih pekerjaan itu.Kamu tidak akan berhasil!”raung papa menjadi-jadi.
“Pa, seharusnya dari dulu pikiran picik papa yang diubah bukannya semangat nulis aku. Aku dan kak Tata berbeda,pa. Mungkin sudah takdir kak Tata meninggal di usia muda. Seharusnya papa bangga diantara keluarga papa hanya aku kini yang mewarisi bakat menulis kakek.”
“Jangan coba ajari papa ya.Papa tahu mana yang benar dan salah. Papa cuma mau yang terbaik buatmu. Sekarang terserah, tetap nerusin kuliah dan papa maafin semua kesalahanmu atau kamu lebih milih jadi penulis yang artinya kamu harus angkat kaki dari rumah.” ancam papa.

Ketegangan begitu menusuk kami. Mama yang duduk diantara aku dan kak Hasna tak bisa berkutik saat papa sedang marah. Pikiranku pun berkecamuk;ada hubungan apa semua ini dengan almarhumah kak Tata?

“Baik kalau begitu, aku pergi dari rumah.Aku akan buktiin sama papa kalau aku bisa jadi penulis sukses.”ujar kak hasna tegas,membuat kami semua kaget.
“Oh,jadi sekarang kamu berani ngelawan papa ya? Pergi sana, pergi! Jadilah penulis seperti yang kamu inginkan. Paling-paling dalam 3 hari kamu bakal balik ngemis-ngemis sama papa minta dimaafkan!”

Segera kak Hasna pergi ke kamar,mengepak pakaiannya.Mama dan aku berusaha mencegah tapi sama sekali tak berhasil. Kami pun mencoba membujuk papa tapi hasilnya papa mengancam akan mengusir kami berdua pula, apabila menghalangi kak Hasna pergi.

Dan ternyata papa salah, kak Hasna sama sekali tak pulang. Mama mencoba mencari kak Hasna kemana-mana tapi sia-sia. Sementara papa tak melakukan apa-apa. Baginya anak perempuan keduanya sudah mati. Tinggal aku seorang.
*****

Pernahkah kak Hasna menyesal dengan keputusannya pergi dari rumah?Ya, pertanyaan itu patut dilontarkan padanya.Dan jawaban diplomatis aku terima,” kakak tidak pernah menyesal dengan keputusan kakak pergi dari rumah Kei. Kalau tidak begitu, mungkin kakak tidak akan menemukan jati diri kakak. Inilah jalan hidup yang mesti kakak tempuh.”

Aku tertegun.Lalu tanda tanya besar dalam otakku 2 tahun yang lalu kembali hadir.
“Kak kenapa nama almarhumah kak Tata selalu diungkit-ungkit apabila kakak dan papa ribut? Ada hubungan apa sebenarnya?”
Kak Hasna mematapku sambil mendesah panjang.Matanya sekilas menerawang.
“Sebenarnya papa takut kakak akan bernasib sama dengan kak Tata. Kamu tahu kenapa dia bisa meninggal di usia yang masih sangat belia 16 tahun? Karena saat itu ia begitu bersemangat menulis.

Papa dan mama mendukungnya sepenuhnya.Tapi ternyata ia melupakan kesehatannya. Hingga suatu hari, kak Tata jatuh sakit,dan baru diketahui kalau dia menderita penyakit liver karena maag akutnya.
Sayang ia terlambat ditangani. Ia pun meninggal. Papa menyalahkan dirinya sendiri dan sejak itu ia bertekad tak boleh ada anaknya yang bernasib sama seperti kak Tata.”

Aku terdiam, teringat peristiwa menyedihkan itu kala usiaku masih 5 tahun.
“Papa trauma. Dia jadi overprotektif.” kataku menyimpulkan.
“Ya,benar Kei.Tapi kakak sadar hubungan yang retak harus diperbaiki.Kakak akan pulang.”
“Pulangnya kak.Aku dan mama merindukan kakak dan pasti juga papa.”
Kali ini air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Rasanya aku melihat air matanya juga hendak jatuh.
*****

Jam dinding telah berdentang 3 kali.Hatiku makin tak karuan.Mama sedang di dapur dan papa sedang menonton tv.Aku tak memberitahu mereka seperti pesan kak Hasna.
Aku langsung terlonjak mendengar ketukan di pintu. Itu mereka! Kubuka pintu dengan hati luar biasa gelisah.

“Hai Kei, mereka ada kan?”sapa kak hasna seraya sibuk menyuruh melodi diam dari rengekannya. Hari ini Melodi tampak cantik sekali dengan topi bundar dan gaun mungil merah mudanya.
Aku mengangguk. Dengan langkah gontai, kutemui papa dan mama dan memberitahu mereka akan kedatangan kak Hasna. Seperti dugaanku mereka berdua kaget. Mereka pun menemuinya. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi hal buruk.

Dari balik gorden yang membatasi ruang tamu dan ruang makan, kulihat papa berteriak lantang mengusir kak hasna.Tapi dengan segera kak hasna berlutut di depan papa sambil menangis diiringi oleh rengekan melodi yang menambah pilu hati yang mendengarnya.
“Pa,Hasna pulang. Hasna sekarang bisa membuktikan sama papa kalau Hasna sudah berhasil jadi penulis dan nasib hasna tak seburuk yang papa kira. Hasna mohon papa memaafkan hasna dan mau menerima hasna kembali.Hasna masih anak papa dan mama dan Hasna kini juga punya anak, cucu papa dan mama.”

Papa bergeming. Mama mendekati kak hasna dan mengambil melodi dari gendongannya. Dipeluknya melodi dengan rasa sayang dan rindu yang meluap-luap.
“Selama ini aku selalu diam pa,”sambung mama.”kalau boleh mama minta satu hal saja dari papa, tolong lupakanlah masa lalu.Terimalah Hasna kembali di rumah ini.”
Kak hasna dan mama menangis.Air mataku pun ikutan jatuh.Sejenak papa diam dan beberapa saat kemudian kedua tangannya pun terbuka lebar.

“Kemarilah Hasna.Papa sungguh merindukanmu.”
Kak hasna terisak lebih keras, berdiri dan memeluk papa. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, setelah kematian kak Tata, aku melihat papaku yang keras kepala itu beruraian air mata.

Keharuan lalu menyelimuti rumah ini. Kerinduan kami lepas bersama canda dan tawa yang sudah lama asing di rumah ini. Rencana kak hasna pun lancar diutarakan.
“Jadi,kamu ke Jakarta besok? Apa ada kenalan disana?”tanya papa.
“Ya, Pa.Kali ini Hasna yakin akan sukses.Hasna minta doa papa dan mama.”
“Tenanglah nak. Doa kami selalu menyertaimu.”
*****

Tiga bulan kemudian, novel kak hasna beredar di pasaran dan alhamdulilah menjadi bestseller.
Senyum kebahagian terpancar dari wajah papa. Setiap orang yang datang ke rumah, selalu disodorinya buku kak Hasna lalu ia berkata dengan bangganya,

“Ini loh buku anakkku Hasna, penulis bestseller.Dua tahun ia berjuang untuk jadi penulis sukses. Aku sungguh bangga padanya.”
Mimpi kak hasna akhirnya kesampaian. Manisnya bisa memetik bintang yang sejatinya sulit digapai. Hanya tangga langit yang bernama kerja keras yang bisa menghubungkannya. Itulah kata kak Hasna-ku.
******

PALEMBANG, 13 JANUARY 07
DIGUBAH 11 JUNI O9